Wartakomunitas.com| Jakarta- By. La Ode Nofal SH MH (Angkatan Muda Muhammadiyah)

Pasca KPU RI menetapkan rekapitulasi suara nasional Pemilu Pilpres beberapa pekan lalu, baik 01 maupun 03 sama-sama menggugat di Mahkamah Konstitusi dan kemarin tim hukum paslon 02 telah mengajukan diri sebagai pihak terkait di Mahkamah Konstitusi dalam sengketa PHPU a quo.

Pengajuan gugatan PHPU di Mahkamah Konstitusi memang telah diatur di dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Namun jika kita melihat konstruksi Pasalnya, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Khusus Frasa “hasil pemilihan umum” inilah yang selama ini menjadi penghalang untuk mewujudkan keadilan pemilu dan demokrasi subtansial negeri ini. Sebab hakim Mahkamah cenderung hanya menafsirkan soal hitungan semata tanpa memperhatikan proses pemilu apakah terselenggara dengan adil dan jujur atau tidak.

Frasa a quo menjadikan Mahkamah Konstitusi tidak bertindak secara prospektif dalam mengadili sengketa PHPU melainkan layaknya sebagai Mahkamah Kalkulator. Padahal dengan kedudukannya, Mahkamah memiliki nilai historis dan filosofis sebagai the guardian of constitution dan the final interpreter of constitution, MK juga sebagai the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights.

Oleh karena itu, dengan kedudukan yang dimilikinya, Mahkamah Konstitusi semestinya melihat sengketa PHPU yang diajukan baik 01 dan 03 haruslah secara prospektif. Mahkamah adalah kumpulan para negarawan yang harusnya memiliki pandangan luas kedepan. Melalui tulisan pendek ini, hemat penulis, perkara PHPU yang sedang bergulir saat ini, sangat dibutuhkan keberanian para hakim untuk bertindak secara progresif lepas dari kengkangan kekakuan formalistik semata.

Selain itu, ketika kita membava desain Pemilu bangsa ini sejatinya bukan sekedar bicara soal angka yang kemudian berujung pada aksi hitung menghitung saja, melainkan ada nilai elementer yang wajib dijadikan panduan (guadience) sebagaimana termaktub di Pasal 22E UUD 1945 “Pemilu jujur dan adil”.

Hakim Mahkamah harus mendalami secara betul ketentuan ini, ini adalah ketentuan bagi bangsa ini dalam mewujudkan demokrasi subtansial. Peradilan Mahkamah konstitusi harus melihat proses pemilu yang terjadi secara luas terhadap penyimpangan-penyimpangan yang menciderai Pasal 22E UUD itu. Baik dari persoalan poliyisasi hukum, politisasi bansos, politisasi ASN, politisasi APH dll. Hal-hal inilah yang etisnya diuji oleh Hakim Mahkamah Konstitusi.

Memang meminta Mahkamah Konstitusi untuk hal demikian masih debatable, namun jika menginsafi ketentuan penyelenggaraan Pemilu, proses pemilu yang berlangsung adalah hal yang sewajibnya diuji Mahkamah. Dan dengan melihat perjalanan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terdapat banyak putusan-putusan Mahkamah yang progresif. Olehkarenanya sangat mungkin proses gugatan PHPU yang diajukan 01 dan 03 ini dikabulkan. Dengan sebuah catatan kritis “membutuhkan mental hakim berani dan/atau progresif”*