"Revitalisasi Politik Gen-Z hanya Gimik"

"Revitalisasi Politik Gen-Z hanya Gimik"

Smallest Font
Largest Font

Wartakomunitas.id | Sungai Penuh - Setiap menjelang tahun politik pastinya ada pembaharuan terhadap sesuatu, pembaharuan tersebut meliputi platform digital yang dimana pelaku utama era digital ini dalah Generasi Z (gen Z). Akan tetapi di tahun pemilu 2024 generasi Z menjadi rebutan para elite politik. Mereka berupaya CAPER untuk mendekati gen Z dengan segala cara, demi meraup suara para pemilih pemula. Menempatkannya sebagai etalase politik atau sekedar pemilih, padahal mereka para gen Z adalah generasi yang akan meretas kritis identitas, menjadi generasi yang berkualitas. Tapi sangat disayangkan, cara pemikiran kaum muda yang belum matang dan terkesan masih labil sering dimanfaatkan. Bahkan pemikiran awam tentang politik oleh mereka malah dijadikan point emas bagi segelintir para elite. Apalagi Gen Z adalah digital native angkatan pertama di Indonesia, terutama yang lahir di kota-kota besar.

Konsumsi informasi mereka dilakukan lewat media sosial, yang juga menjadi referensi sekaligus alat partisipasi dalam diskursus publik.

Bagaimana jika gen-Z disebut buta politik?
Merujuk kepada Bertolt Brecht (1898-1956), penyair asal Jerman, buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.

Oleh sebab itu kualitas sumber daya manusia dapat menentukan nasib bangsa di masa depan. Sumber daya manusia yang baik tidak hanya dibentuk dengan pengetahuan saja, tetapi harus melibatkan gen-Z dan masyarakat partisipasi dalam isu atau permasalahan yang berkaitan dengan politik. Partisipasi politik masyarakat merupakan bentuk aktualisasi dari demokrasi dalam bentuk politik dan yang akan mendorong demokrasi berdasarkan nilai-nilai demokrasi tersebut,antara lain seperti keterbukaan, kebebasan, dan aturan yang berlaku.


Menurut Proyeksi Penduduk Indonesia dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelompok Milenial diproyeksi sebanyak 23,77 persen dari total populasi Indonesia yang mencapai 268 juta jiwa. Artinya, hampir seperlima penduduk di Indonesia adalah kelompok Milenial.Sedangkan Generasi Z (Gen Z) sebagai calon pemilih muda  dengan persentase sebesar 27,94 persen dari populasi penduduk.

 
Secara data terlihat, dari 50,4 persen gen Z dan 49,6 persen milenial hanya 16 persen yang mengikuti pendidikan politik. Namun, yang mencengangkan, 87,2 persen atau mayoritas mereka mau berpartisipasi dalam pencoblosan saat pemilu (Katadata, Oktober 2023).


Menurut tulisan Bruce Tulgan dan Rainmaker Thinking yang berjudul Meet Generation Z: The Second Generation within The Giant Millenial Cohort  membawa kita untuk memahami beberapa karakteristik utama dari gen Z. Di antaranya, masa depan gen Z tergambarkan di media sosial. Keberadaan media sosial membuat mereka mampu dengan mudah mengenal dunia. Hal ini terkait dengan karakteristik berikut, yaitu relasi gen Z dengan orang lain menjadi hal yang mutlak penting untuk terjadi.

Perlu diketahui gen Z bukan hanya sekedar tampilan, tetapi juga kaya dengan berbagai terobosan ide-ide yang brilian. Apalagi agen Z  dengan notabene berperan sebagai pemeran paradigma pembangunan bangsa yang senantiasa mengedepankan etika yang tercantum pada nilai-nilai luhur pancasila. Tentunya jangan hanya dianggap sebagai tambang suara belaka, tapi gunakanlah suaranya sebagai penyambung aspirasi demi pembangunan bangsa ini agar tetap dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri. Mereka para gen Z juga digambarkan melek terhadap teknologi, mengikuti trend, aktif berkomunitas, atau fasih menggunakan Bahasa Inggris.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh gen Z saat ini dalam keterlibatan politik adalah apathy politik, di mana sebagian dari mereka merasa cenderung apatis atau tidak peduli terhadap proses politik. Faktor utama yang mendorong apathy ini adalah kurangnya kepercayaan terhadap sistem politik yang dianggap korup dan tidak responsif terhadap aspirasi generasi muda, gen Z hidup dalam era informasi yang cepat dan terus berkembang.

Namun, kelebihan informasi dan maraknya disinformasi juga dapat membuat mereka merasa kewalahan dan sulit untuk memilah informasi yang akurat. Hal ini dapat menjadi hambatan dalam membentuk pandangan politik yang informatif dan berbasis fakta. Juga kondisi ekonomi yang sulit dan tuntutan hidup sehari-hari dapat menjadi distraksi bagi gen Z, membuat mereka lebih fokus pada kebutuhan langsung mereka daripada terlibat secara aktif dalam aktivitas politik. Ketidakstabilan ekonomi dan ketidakpastian masa depan juga dapat menjadi faktor penyebab apathy politik.

Akan tetapi keterlibatan politik gen Z secara langsung memengaruhi dinamika politik, menciptakan kesempatan untuk perubahan positif dan meningkatkan kualitas keputusan politik. Dalam konteks ini, kehadiran mereka menjadi salah satu elemen vital dalam menjaga vitalitas dan relevansi sistem demokrasi.


Sedangkan persepsi gen Z terhadap kontestasi politik sekarang lebih memperhatikan figur politik ketimbang partai politiknya, meski mereka memiliki kepercayaan yang rendah terhadap pemerintah. Mereka mengikuti politik jika ada politikus yang dapat dicontoh karakternya. Namun di sisi lain, hal ini turut jadi masalah. Sebab gen Z cenderung melihat karakter politikus ketimbang agenda politiknya. Memiliki pemimpin yang memahami serta bertindak dalam nasib masyarakat Indonesia sangat diperlukan. “Jujur serta adil dalam penanganan negara. Dan tentunya tidak kuno dalam pengembangan Indonesia dalam perkembangan zaman.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    1
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow