POLITIK DALAM SOROTAN
Wartakomunitas.com | Sumbar - Stigma masyarakat akan politik saat ini adalah sesuatu yang harus dihindari, karena politik itu sangat buruk dan kotor. Karena sebagian masayarakat telah merasakan kejamnya dunia perpolitikan. Karena politik mencoba menghalalkan segala cara dan berbuat semena-mena. Berbicara tentang politik, secara porosnya politik itu adalah kepentingan, dan secara egonya politik adalah kekuasaan, walaupun outputnya adalah kebijakan, tentunya dalam hal ini terjadi penolakan persamaan hak dan persamaan derajat, baik antar manusia dan antar bangsa karena persamaan hak akan bertentangan dengan alam.
Logikanya ketika menyebut kata “POLITIK” persepsi yang datang, kalimat biasa seperti “Semua politik itu kotor, Bapak A berpolitik, oleh karena itu bapak A kotor” Premis Mayor => Semua politik itu kotor. Premis Minor => Bapak A berpolitik. Kesimpulan => Bapak A itu kotor. Benarkah semua politik itu kotor?Apakah tidak ada politik itu yang bersih?
Mari kita berikan tanda kurung terlebih dahulu pada semua presuposisi dan asumsi normal pengalaman kita, sebagaimana pada istilah “Epoche” jangan terlalu cepat melabeli sesuatu dan terlalu ringkas pada penilaian dan kesimpulan.
Outputnya politik sebenarnya adalah memberikan kebijakan, bukan merupakan lahan santapan bagi penguasa, kaum-kaum berduit atau kelompok-kelompok politik itu sendiri. Hanya saja stereotip kita yang secara kebetulan bertemu dengan oknum-oknum politik kotor diruang lingkup tertentu sehingga kita menganggap bahwa semua politik itu kotor.
Dengan minimnya literasi dan sikap yang tidak bijak dalam menyaring informasi membuat asumsi kita berbeda dari apa yang sudah terjadi. Hal ini berdampak pada sikap apatais dan tidak peduli terhadap sesuatu yang berkaitan dengan politik itu sendiri. Padahal politik adalah suatu keharusan yang tak bisa dihindari, karena politik outputnya adalah kebijakan, dan relasi baik antar kelompok/organisasi bagi berbangsa dan bernegara untuk mencapai kehidupan yang baik (good life).
Buruknya jika kita tidak melek politik maka kita akan dilindas oleh politik itu sendiri. Merujuk kepada Bertolt Brecht (1898-1956), penyair asal Jerman, buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga minyak, harga cabai, harga ikan, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Tapi apakah semua Negara sudah mencapai good life? Saya dengan lantang menjawab “TIDAK” karena dengan adanya trik dan intrik yang menjadikannya hancur. Maka dari itu kita sebagai warga negara harus melek terhadap politik, terutama kaum muda yang merupakan lidahnya masyarakat atau kaki tangan rakyat dalam menyampaikan aspirasi tentu harus kritis dalam hal ini, karena dengan adanya gerakan kritis dari kaum muda akan menyebarkan kebermanfaatan dan kesadaran akan kesalahan yang dilakukan oleh kaum-kaum elit atau politisi yang tak sadar dengan kebijakan-kebijakan yang tidak bermoral dan rasional.
Tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap partai politik akan menyulitkan partai politik, bukan hanya dalam hal mencari dukungan, tapi juga dalam hal membangun kader. Masyarakat yang apatis terhadap partai politik akan sulit didekati dan ditawarkan untuk terlibat aktif atau apalagi masuk ke dalam partai politik. Untuk itulah diperlukan terobosan dalam menghadapi situasi tak menguntungkan ini.
Penyebab meningkatnya sikap apatis masyarakat terhadap partai politik pada dasarnya disebabkan oleh banyaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader-kader partai politik. Berbagai survey menunjukkan kecenderungan semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.*Temuan survey SMRC terbaru pada tahun (2016). Misalnya, menempatkan partai politik sebagai lembaga yang paling rendah mendapatkan kepercayaan masyarakat (52%). Angkanya jauh di bawah TNI (89%), Presiden (83%), dan KPK (82%). DPR sebagai lembaga yang menampung partai politik juga mendapatkan nilai yang rendah, yakni (58%).
Politik di Indonesia sering mengalami pasang surut. Pasca reformasi, keikut sertaan warga negara dalam arena politik menampakan gejala kelesuan yang diindikasikan pada penurunan kualitas serta kuantitas partisipasi politik. Pelaksanaan partisipasi politik masih terancam penggunaan politik uang (money politics) dalam mempengaruhi proses pemilihan calon.
Perlunya pendidikan politik sebagai upaya meningkatkan pengetahuan politik rakyat agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal terhadap sistem politiknya, sesuai faham kedaulatan rakyat atau demokrasi bahwa rakyat harus menjalankan tugas partisipasi.*Politik sendiri tidak lepas dari partisipasi warga negara. Pelaksanaan partisipasi politik termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang jaminan dan perlindungan negara terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara, seperti hak menyampaikan pendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak yang sama dihadapkan hukum dan pemerintahan serta hak mendapatkan keadilan. Partisipasi politik menurut Hantington dan Nelson yang menyatakan partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.
Dengan demikian, pendidikan politik menjadi bagian dan tanggung jawab dari semua unsur yang ada di negara ini tanpa terkecuali, baik itu keluarga, partai politik, media massa bahkan sekolah atau kampus.
Skeptisisme masyarakat harus diartikan sebagai skeptisisme ilmiah, demi untuk menghindari rasa mudah percaya dan sikap naif tidak kritis yang gampang percaya dan meyakini “kebenaran” mitos-mitos politik, doktrin-doktrin dan propaganda yang semuanya bersifat melenakan daya kognitif (pengenalan).
Dengan begitu politik bukan hanya pemahaman peristiwa-peristiwa konflik atau dinamika yang diutamakan, akan tetapi menekankan aktivitas politik secara sadar dan benar sesuai dengan azas-azas demokrasi sejati. Untuk saat ini skeptisisme masyarakat awam terhadap politik harus diluruskan kembali, karena sejatinya politik dalam demokrasi adalah penentu langkah masa depan bangsa. Dengan cara sosialisasi dari para pemangku kepentingan, seperti pemerintah, mahasiswa maupun lembaga politik itu sendiri, mungkin ini akan menjadi upaya strategis untuk memberikan edukasi politik kepada masyarakat.
Berdasarkan peristiwa diatas yang perlu dilakukan saat ini adalah memegang teguh etika politik yang berorientasi pada kemanusiaan yang menghargai satu dengan yang lainnya. Serta juga memiliki nilai-nilai moral yang baik dalam menghargai peradaban Indonesia demi maju dan berkembangnya Indonesia ke arah yang lebih baik.
Persoalan politik semata mata merebut kekuasan bukan mencapai tujuan dari partai politik, seharusnya membawa kesejahteraan umum, karena pemimpin yang sebenarnya adalah ketika rumah kebakaran dia maju duluan, ketika musuh datang menyerang dia berdiri paling depan, dan ketika panen melimpah dia belakangan makan, pemimpin yang sungguh-sungguh akan memperjuangkan aspirasi rakyat kecil. Mampu menjawab dan mengatasi segala persoalan bangsa. Baik itu hukum, sosial, ekonomi, sampai kepada merancang bangunan sebuah tatanan moral.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow